Karena Cinta

Minggu, 14 Maret 2010

DETIK-DETIK TERAKHIR

Aku dan suamiku memang telah berencana ke Surabaya dari beberapa bulan yang lalu. Janji mau datang ke rumah adik suamiku. Bila kita sudah berjanji, rasanya tidak enak sekali kalau harus mundur-mundur terus. Akhirnya pada tgl 8 Maret 2010, jadi juga kami ke Surabaya.

Kami naik kereta Gumarang klas Bisnis. kereta berangkat jam 17.05 dari Stasiun kota. jam 16 lewat kami baru sampai di rumah, karena harus membereskan pekerjaan di kantor dahulu. Kantor suamiku dan kantorku tidak terlalu jauh. Masih satu lokasi di jln. Thamrin.
Sebenarnya dari jam 15.00 aku sudah menelponnya untuk segera pulang, tapi suamiku mengatakan bahwa pekerjaannya belum selesai. Aku sebenarnya ingin pulang duluan, tapi mengingat busway pada jam 16.00 sudah ramai sekali, maka aku menunggu suamiku menjemputku di sebrang Plaza BII di bawah tangga penyeberangan.

Hujan mulai turun rintik-rintik, sekitar 15 menit aku menunggu suamiku dan akhirnya kelihatan juga motor kuning miliknya. Ia mengeluarkan jas hujan yang disimpannya dibawah jok motornya. Hatiku berdegup khawatir terlambat sampai di stasiun kota.

Tiba di rumah, aku melihat tukang buah dingin/rujak. Itu adalah makanan kesukaanku. Karena waktunya sudah terlalu mepet, maka keinginanku makan rujak aku urungkan.
Aku buru-buru masuk ke kamar, untuk shalat Azhar. Setelah itu siap untuk berangkat.
jarak dari rumahku ke stasiun kota tidak terlalu jauh, karena aku tinggal di daerah P. Jayakarta. Barang yang kami bawapun tidak terlalu banyak. Suamiku membawa tas ransel yang super-super berat yang berisi lap top dan pakaian dan aku membawa tas kerjaku serta satu tas berisi pakaian dan satu tas kecil lagi yang berisi peralatan shalat.

Aku naik bajaj ke stasiun kota, di tengah perjalanan bajaj yang aku tumpangi mogok. Kami benar-benar khawatir karena takut terlambat. Tapi akhirnya bajajpun bisa meneruskan perjalanan dan mengantar aku sampai di tempat. kami berlari-lari dari mulai turun dari bajaj. pintu masuk yang biasa dibuka dari pintu yang terletak dimuka, kini dialihkan ke samping. Kami terus berlari-larian. Entah berapa kali suamiku meneriaki namaku, agar berlari dengan cepat. Suamiku mengambil alih barang bawaanku. Aku hanya membawa tas kerjaku saja.
Sesampainya di dalam stasiun, suamiku mengambil arah kanan yang ternyata bukan kereta tujuan kami. Suamiku seperti berputus asa, aku katakan " tanya, tanya..... sama bapak yang dikereta, mana kereta Gumarang jurusan Surabaya!" akhirnya suamiku bertanya pada bapak petugas yang ada di dalam kereta tersebut. Ternyata, kereta Gumarang terletak di sebelah kiri. Suamiku berlari menuruni jalur kereta yang letaknya memang lebih rendah. Aku mengikutinya dengan cara turun dengan perlahan, karena lutut kananku sering bengkak bila sudah jalan atau lari terlalu lama. Akhirnya suamiku naik kekereta Gumarang, kereta telah bergerak perlahan, aku terus berusaha untuk naik. Aku tidak bisa mengangkat kakiku tinggi-tinggi karena kaki kananku benar-benar sakit. Aku meletakkan tas kerjaku dulu di kereta. Kemudian, seperti ada suara yang membisiki telingaku. "Tekuk kaki kananmu, dan pegangan kebesi yang ada dipintu kereta." aku menuruti bisikan tersebut, dan berikutnya suamiku membantu menarikku untuk naik. Aku merasa tenang, aku merasa dadaku bergemuruh kencang sekali. Ada rasa marah pada suamiku, rasa dongkol padanya yang selalu menyepelekan waktu dan ada juga rasa malu ditonton banyak orang saat aku berlari-larian nguber kereta.

Aku mengambil tas kerjaku, mengambil tasku yang lain yang berserakan di lantai kereta. Dengan wajah masam dan sorot mata kebencian memandang suamiku yang menyalakan aku yang katanya "dia ini lambat sih!" kata-kata itu disampaikan ke petugas kereta. Aku masuk ke dalam gerbong dan terduduk dengan nafas terengah-engah, keringat yang membasahi wajah dan keningku. Aku katakan ke Petugas kereta " maaf Bapak, aku numpang duduk dulu disini beristirahat sebentar, aku capek sekali." Si bapak mempersilahkan aku, dengan sorot mata kasihan, " Silahkan ibu beristirahat dulu saja, sampai hilang capeknya." kemudian bapak tersebut meninggalkan kami.

Aku duduk di gerbong yang masih kosong. Aku marah pada suamiku. Suamiku merasa tidak bersalah, dan ia katakan enak, seperti petualangan. Ia tersenyum-senyum. Pakaiannya basah oleh keringat, wajahnyapun basah oleh keringat. Aku benar-benar kesal padanya. Setelah duduk beberapa saat, akupun bangun dari tempat dudukku dan beranjak mencari gerbong 5 sesuai no yang tertera di tiket.
Aku memalingkan wajahku dari pandangan suamiku, berpaling dan berpaling terus walau dia berusaha mengajakku bicara.
Terakhir, ia mengengam tangan kananku, dan berkata "maafkan aku ya." bibirnya tersenyum dengan manisnya dan sambil mengayun-ngayunkan tanganku mundur maju bukan seperti orang yang bersalaman ke atas dan ke bawah.
Akupun tersenyum, aku tidak sampai hati marah berlama-lama. Inilah yang aku inginkan. Kata-kata maaf yang keluar dari bibirnya. Aku katakan, " taukah kamu, bahwa kakiku sakit sekali? kalau aku sampai tidak bisa naik ke kereta tadi, bagaimana?" ia katakan, ia akan turun dan naik kendaraan lain menuju stasiun Senen. ( bicara memang mudah, memangnya hal itu bisa tercapai bila terjadi macet?)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar